Ketika Kita Butuh dengan Peningkatan Kemampuan

Prakata :

Excuse me,… Aye pengen nimbrung ame elo-elo nulis di blog. Alias menjadi manusia “GO-BLOG”. Maklum deh, aye demen nulis. Ada yang nanye,…”emang elu bisa nulis?” Aye jawab : “Ya, dikit deh. Tapi maaf deh, kiranye kali ini, aye bukan pemula lagi. Aye demen nulis sejak duduk di bangku esempe (termasuk nulis surat ame pacar, he...he...). Tahun ’82, Aye daftarin diri ame Iwan Fals jadi …Umar Bakri…,hi…hi…, hingga sekarang aye terus putar-puter pena. Kebanyakan ngomongin soal sakola plus calon anak bangsa-nya (hu..hu…, idealis lho!). Habis aye gak bisa ngomong soal duit (ekonomi) atau urusin korsi (politik). Meski aye bukan pemula, tapi aye tidak ngrasa jadi pemuka. Aye ngrasa masih harus belajar, dan terus menjadi pembelajar,...ho...ho...! Yo, siapa mau ngajarin aye, atau beri saran alias masukin. OK, demi ngbangun nusa dan bangsa kite tercinte, aye tentu seneng deh,…ha…ha!”. Heu…heu…yyy deuh….

Senin, 07 Desember 2009

Artikelku : Artikel ini ditulis pada saat Pak Dadang Dally menjabat sebagai Kepala Dinas Pendidikan Provinsi Jawa Barat. Ditulis sebagai respon atas artikel beliau yang dimuat di Harian Umum Pikiran Rakyat tanggal 9 Oktober 2008, yang juga merupakan respon atas artikel Pak Surya (Guru Besar FKIP Unpas Bandung) di harian yang sama tanggal 7 Oktober 2008. Barangkali, artikel saya ini masih aktual, mengingat fenomena gratis tentang pendidikan masih menjadi topik pembicaraan hingga saat ini.

Pendidikan Gratis, Pendidikan Mahal, atau Pendidikan Terjangkau

Menarik sekali, menyimak ulasan tentang pendidikan gratis yang ditulis oleh Prof. Dr. H. Muhamad Surya (Mantan Ketua Umum PB PGRI, Guru Besar FKIP Unpas, 7/10) dan Dr. H. Dadang Dally (Kepala Dinas Pendidikan Provinsi Jawa Barat, 9/10). Dalam tulisan tersebut terjadi dua kutub yang berbeda, yang boleh jadi mengundang polemik ihwal dunia pendidikan kita. Pak Surya, tidak setuju dengan istilah pendidikan gratis, karena kata tersebut bisa ditafsirkan ke dalam sebuah transaksi barang atau uang dalam suatu proses jual beli. Sementara Pak Dadang mohon izin untuk bersikukuh menggunakan istilah pendidikan gratis, dengan alasan karena substansi orang tua sebagai konsumen pendidikan yang tidak boleh dibebani dengan biaya pendidikan. Menurut Pak Dadang, bahwa pendidikan adalah kebutuhan dasar masyarakat yang harus diperoleh tanpa beban.

Perbedaan pendapat ini memang wajar jika melihat latar belakang dan posisi kedua tokoh pendidikan tersebut. Sebagai seorang Guru Besar, Pak Surya melihat lembaga pendidikan dengan landasan pemikiran seorang profesional. Melalui sikap ini, secara ideal bahwa sistem pendidikan harus berjalan dan melakukan sebuah proses yang mampu mewacanakan sosok bangsa yang beradab dan bermartabat ke depan. Adapun sebagai seorang birokrat, Pak Dadang memandang bahwa institusi pendidikan mesti berjalan normatif dengan merujuk pada dua teori, tetapi tidak boleh mengenyampingkan dua arus besar yang datang dari atas dan dari bawah. Arus atas, sebagai seorang Kepala Dinas Pendidikan, Pak Dadang bisa jadi merasa punya tanggungjawab moral sebagai pejabat yang memiliki fungsi strategis dalam memanifestasikan jargon pendidikan gratis yang diusung pasangan HADE ketika masa kampanye Pilgub tempo lalu. Dan kini pasangan tersebut telah mendapat kepercayaan rakyat Jabar memimpin provinsi ini dengan beban berat di pundak untuk segera merealisasikan janji muluknya tersebut. Banyak orang tentu percaya, bahwa Pak Dadang adalah tangan kanan dan andalan dari Pak Gubernur yang menjadi atasannya itu, agar pendidikan gratis segera terwujud, apapun konsekwensinya.

Arus bawah, adalah realitas masyarakat yang telah lama mengidam-idamkan pendidikan gratis, dan senantiasa menjadi sasaran empuk bagi para politisi dalam rangka meniti tangga kekuasaan di negeri tercinta ini. Dan kita memahami, bahwa pemerintah yang dibentuk melalui suara rakyat, termasuk di dalamnya overhead pendidikan terlalu menyerah pada tuntutan rakyat dalam hal pendidikan. Rakyat boleh merengek untuk tidak membayar SPP, tidak membeli buku, tidak ada pungutan apa-apa, dan berbagai kebutuhan sekolah lainnya. Pendek kata, orang tua banyak yang hanya berpikiran asal anak mampu pergi ke sekolah, meski pulang tanpa membawa apa-apa. Sementara dalam hal lain, semisal ekonomi, rakyatlah yang dibuat menyerah tak berkutik, meski dihantam dengan melambungnya harga sembako, merangkaknya tarif listrik, pola hidup konsumtif, kenaikan harga dan kelangkaan BBM. Justeru alasan ekonomi inilah yang mengkerdilkan asumsi rakyat, bahwa pendidikan itu tidak perlu biaya, sehingga mencuat tuntutan pendidikan gratis.

Padahal semua orang tahu bahwa warna hitam tidak sama dengan warna putih, dan bila dipadukan akan menghasilkan warna kelabu. Demikian pula pendidikan gratis sangat sulit untuk diaplikasikan kepada pendidikan berkualitas, kecuali menghasilkan pendidikan yang asal-asalan.

Hakekatnya, pendidikan memang bukan komoditas yang nilainya dapat ditakar dengan uang. Pendidikan adalah suatu keniscayaan yang harus diperoleh setiap insan, karena tanpa memperoleh pendidikan, manusia tidak akan berwujud sebagaimana fitrahnya manusia. Adapun pendidikan itu menyentuh pada setiap aspek tingkah laku dan kehidupan yang ada dalam keseharian. Apapun yang melekat pada individu manusia, baik ucapan (qoulun), dan tingkah laku (arkan) adalah pengejawantahan dari sebuah proses pendidikan. Termasuk obsesi rakyat dengan pendidikan gratis, adalah manifestasi dari tataran kebanyakan masyarakat kita yang terlanjur menempatkan kebutuhan pendidikan bukan yang nomor prioritas di keluarganya.

Sudah barang tentu, fenomena ini harus disikapi melalui tindakan mendidik oleh pakar dan birokrat pendidikan. Menanamkan sikap apatis terhadap pendidikan, terlebih dengan asumsi pendidikan gratis, akan membentuk masyarakat yang tidak peduli pendidikan, sehingga rakyat jadi tidak terdidik. Maka yang lebih tepat menurut kondisi dan situasi ekonomi bangsa kita adalah bukan pendidikan yang gratis, tetapi juga bukan pendidikan yang mahal. Adapun pendidikan gratis adalah pendidikan yang naif dan membodohi rakyat. Karena sesuatu yang gratis pada dasarnya berimplikasi pada rendahnya kualitas yang dihasilkan. Pendidikan yang mahal adalah pendidikan yang mendzalimi rakyat, karena dengan mahalnya pendidikan, berarti rakyat tidak mendapatkan haknya untuk memenuhi kebutuhan dasarnya. Pendidikan yang pas buat rakyat kita adalah pendidikan yang terjangkau..

Pendidikan terjangkau adalah pendidikan yang mendidik rakyat dan juga mendidik aparat pendidikan. Orang tua akan terdidik, karena dengan mengeluarkan biaya sekolah, mereka akan mem-presure anak-anaknya dalam menuntut ilmu. Dan anak-anak sekolah, paling tidak akan memiliki pemikiran sayang bila keluar begitu saja dari suatu sekolah, mengingat ada pengorbanan biaya orang tuanya. Aparat pendidikan dalam hal ini kepala sekolah dan guru, akan berhati-hati dalam menetapkan dan mengelola keuangan dari orang tua. Menjaga epektifitas dan efesiensi pendanaan di lembaga sekolahnya, termasuk berani memangkas pungutan-pungutan dari aparat pendidikan di atasnya, dan oknum-oknum yang mengatasnamakan LSM atau pers.

Dengan demikian, institusi pendidikan membutuhkan peranan dua figur seperti Pak Surya dan Pak Dadang. Figur semacam Pak Surya akan berfungsi mengidealkan pendidikan. Pendidikan ideal tidak bisa diselenggarakan dengan cuma-cuma, karena pendidikan yang ideal akan terselenggara melalui fasilitas yang memadai, yang diakomodasikan dengan dana yang memadai pula. Logikanya, pendidikan gratis untuk kondisi keuangan negara seperti sekarang ini, belum tentu mampu mengakomodir terselenggaranya pendidikan yang berkualitas. OK-lah tahun 2009 anggaran pendidikan mencapai 20% dari APBN, tetapi kita perlu melihat dulu konsekwensi pemerintah, termasuk para pemegang keputusan di institusi pendidikan dalam mendistribusikan anggaran tersebut secara adil dan proporsional sampai ke bawah.

Figur Pak Dadang sebagai birokrat pendidikan, berfungsi mengendalikan pendidikan dari upaya-upaya yang tidak logis dalam menetapkan biaya sekolah oleh praktisi pendidikan di lapangan, sehingga tidak akan terjadi pengkondisian sekolah paforit dengan biaya mahal tetapi minim kualitas. Sekolah paforit atau perguruan tinggi bonavide seringkali didengungkan sebagai upaya untuk mengatrol biaya, padahal di dalamnya tidak ada upaya untuk menyeimbangkannya dengan kualitas dan pelayanan.

Pada saat bangsa sedang dihadapkan pada era persaingan bebas, tidak tepat mempersoalkan gratis atau bayar soal pendidikan. Pendidikan membutuhkan dana yang memadai, artinya pendidikan memaksa untuk dibiayai, dari manapun sumber dananya. Sesuai dengan Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional pasal 46 ayat (1) Pendanaan pendidikan menjadi tanggung jawab bersama antara pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat. Orang tua adalah unsur masyarakat yang memiliki kewajiban mendanai pendidikan sesuai dengan kemampuannya. Maka pendidikan gratis pada dasarnya tidak sesuai dengan undang-undang yang ada, yang lebih tepat adalah pendidikan terjangkau.

Sah-sah saja menjadikan polemik, gratis atau mahal sebuah pendidikan. karena akhirnya akan dihadapkan pada realitas sosial-ekonomi masyarakat sendiri. Pendidikan akan diseret menjadi sebuah komoditas dan terjerembab masuk ke sebuah arena pasar. Gratis akan masuk ke arena pasar yang lebih rendah dari pasar loak, sedangkan bayar terjangkau atau mahal akan masuk ke arena swalayan. Di pasar loak saja kita tidak akan menemukan barang yang gratis, tetapi kita tidak akan menemukan barang yang baru atau super bagus. Sedangkan di swalayan kita dapat memilih sendiri barang sesuai dengan selera, sesuai dengan kemampuan harga yang ada. Antara tinggi dan rendahnya kualitas, dan mahal atau terjangkaunya harga barang di swalayan bisa ditentukan sendiri berdasakan hasil pilihan seseorang. Bila orang pandai memilih barang berkualitas namun harganya terjangkau, berarti ia telah menemukan pilihan yang tepat. Kendatipun ia memilih barang mahal, tetapi karena alasan memiliki mutu tinggi dan sangat dibutuhkan, berarti itu adalah pilihannya dan atas kesadarannya. Sebaiknya, pendidikan pun layak dianggap sebagai kebutuhan yang diserahkan kepada pilihan rakyat, layaknya sebuah barang yang dijajakan di pasar swalayan, dengan kemasan yang menarik, mutu yang sesungguhnya, dan harga yang pantas. Sekolah atau PT diperkenankan menawarkan harga pendidikannya, sepanjang mampu menjamin kualitas yang diharapkan masyarakat. Tetapi tentunya, harga yang ditawarkan harus bersifat wajar dan transparan, yang dikemudian hari tidak bersifat membebani orang tua. Ini adalah sebuah proses perkembangbiakan ide dan persepsi, di mana pendidikan tidak lagi diperdebatkan antara harus gratis atau bayar. Pendidikan ke depan akan menjadi sebuah embrio yang akan melahirkan trend kebutuhan masyarakat yang baik atau buruknya akan ditentukan oleh tinggi rendahnya biaya yang dikeluarkan oleh konsumen. Apabila sebuah lembaga pendidikan benar-benar mampu memberikan jaminan kualitas yang diharapkan, maka masyarakat konsumen pun tidak akan berani menawar lagi, karena akan berebut untuk memperoleh tempat duduk di dalamnya.

Tokoh yang berfungsi mengidealkan pendidikan, dan yang berambisi mengendalikan pendidikan, diperlukan selama institusi pendidikan berlangsung, dan akan bersinergi sebagai alat kontrol sosial yang mampu menjaga harga dan kualitas pendidikan di sebuah lembaga pendidikan tertentu.

Trend pendidikan semacam di atas, adalah sesuatu yang niscaya pada tataran kondisi bangsa saat ini. Biarkanlah masyarakat dan lembaga pendidikan saling bersanding, dan mereka menuju pada sebuah persaingan untuk memperoleh sebuah kualitas yang dipilih dan ditentukannya sendiri. Karena kendatipun tidak, sadar atau tidak sadar, bahwa bangsa ini ke depan dihadapkan pada sebuah persaingan bebas yang menuntut SDM yang memiliki kualifikasi tinggi, agar mampu mengimbangi kekuatan global.

Obsesi bangsa Indonesia ingin menjadi pesaing handal di dunia internasional. Seperti halnya gencar dalam berbagai media, bahwa dalam kancah perekonomian Asia saja, Indonesia diharapkan kembali menjadi macan Asia. Jaminan untuk mampu bertanding dan bersanding dalam era persaingan tersebut, adalah generasi yang lahir dari produk pendidikan yang bermutu tinggi. Pendidikan yang bermutu tinggi, bukanlah pendidikan yang gratis, tetapi juga bukan pendidikan yang mahal. Pendidikan yang terjangkau adalah sebuah pilihan yang akan dinikmati seluruh segmen masyarakat. Jika seluruh rakyat telah merata mengenyam pendidikan sesuai minat dan kemampuannya, maka mereka akan terlibat dalam berbagai bidang pembangunan yang ada. Maka, setiap sektor pembangunan yang ada di negeri tercinta ini tidak akan lepas ke tangan pihak lain. Semoga.***
Salam buat Pak Dekan, Pudek I, II, III, para Ketua Prodi, para Dosen, dan seluruh Mahasiswa FKIP Unpas Bandung. Maybe great success continually!